1 Penerima harus dlabit (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid). 2) Berakal sempurna serta sehat secara fisik dan mental Syarat berakal sehat sudah jelas disyaratkan dalambertahammul hadis karena untuk menerima hadis yang merupakan salah satu sumber hukum Islam sangat diperlukan.
Pendahuluan Karena hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam sampai kepada kita melalui jalur para perawi, maka mereka menjadi fokus utama untuk mengetahui ke-shahih-an atau tidaknya suatu hadits. Karena itu pula, para ulama hadits amat memperhatikan para perawi. Mereka telah membuat berbagai persyaratan yang rinci dan pasti untuk menerima riwayat para perawi. Ini menunjukkan jauhnya pandangan para ulama hadits, lurusnya pemikiran mereka, dan kualitas metode yang mereka miliki. Berbagai persyaratan yang ditentukan terhadap para perawi dan syarat-syarat lain bagi diterimanya suatu hadits atau berita tidak pernah ada dan tidak pernah dijumpai pada agama apapun, bahkan hingga masa kini. Syarat-Syarat Diterimanya Rawi Jumhur dari imam hadits maupun fiqh sepakat bahwa terdapat dua syarat pokok perawi hadits Pertama, keadilan. Dengan memberi perhatian bahwa rawi itu harus seorang muslim, baligh, berakal, selamat dari sebab-sebab kefasikan, selamat dari cemarnya muru’ah sopan santun. Kedua, dlabith. Dengan memberi perhatian bahwa rawi itu tidak menyelisihi dengan rawi tsiqah, hafalannya tidak buruk, tidak parah kekeliruannya, tidak pelupa, dan tidak banyak persangkaannya. Dengan Apa Keadilan Dipastikan? Keadilan dapat dipastikan melalui salah satu dari dua hal Pertama, bisa dengan ketetapan dua orang yang adil, yaitu dua ulama ta’dil atau salah seorang dari mereka menetapkan keadilannya. Kedua, bisa juga dengan ketenaran atau kepopuleran. Jadi, barangsiapa yang popular dikalangan ahli ilmu dan banyak yang memujinya, hal itu sudah cukup. Tidak diperlukan lagi penentuan adil baginya. Contoh imam-imam yang terkenal, seperti imam madzhab yang empat, dua Sofiyan, al-Auza’i. Pendapat Ibnu Abdil Barr dalam Menetapkan Keadilan Ibnu Abdil Barr berpendapat bahwa setiap orang yang memiliki ilmu, dikenal perhatiannya terhadap ilmunya, maka ia telah menyandang sifat adil hingga jelas dijumpai adanya jarh cacat. Beliau beragumen dengan dalil, “Ilmu ini akan dibawa oleh setiap orang yang mengikuti keadilannya, terhindar dari penyimpangan orang-orang yang dusta, meniru-niru orang yang bathil, dan penafsiran orang-orang yang bodoh.” HR. Ibnu Adi dalam kitab Al-Kamil Pendapat beliau ini tidak diterima oleh para ulama karena haditsnya tidak shahih. Malah, tidak bisa tidak bisa men-shahih-kannya sebab makna dari ilmu ini diemban oleh setiap orang yang adil, realitanya justru ada juga orang-orang yang tidak adil mengembannya. Bagaimana mengetahui rawi yang dlabith? Rawi yang dlabith dapat diketahui melalui kesesuaian riwayatnya dengan rawi tsiqah yang cermat. Jika riwayatnya itu lebih banyak yang sesuai dengan rawi-rawi yang tsiqah, maka ia dlabith. Dan hal itu tidak rusak meskipun ada sedikit riwayatnya yang menyelisihi mereka. Namun, jika banyak dari riwayatnya itu menyelisihi riwayat rawi-rawi tsiqah, maka ke-dlabith-annya bisa hilang dan tidak bisa dijadikan hujjah. Apakah Jarh dan Ta’dil itu Dapat Diterima Tanpa Penjelasan? Pertama, mengenai ta’dil, dapat diterima walaupun tidak disebutkan sebab-sebabnya. Ini menurut pendapat yang shahih dan popular. Karena penyebab ta’dil itu amat banyak, sulit untuk membatasinya. Jika itu diperlukan, maka seorang mu’adil yang menetapkan keadilan seseorang akan mengatakan, “lam yaf al kadza dia tidak melakukan hal itu, lam yartakibu kadza dia tidak terjerumus dalam perbuatan itu. Atau mengatakan, huwa yaf’alu kadza dia melakukan hal itu, wa yaf’alu kadza wa kadza dia melakukan hal itu dan hal itu.” Kedua, mengenai jarh, tidak diterima kecuali dengan menjelaskan sebab-sebabnya karena tidak sulit untuk dijelaskan. Terdapat perbedaan pendapat mengenai sebab-sebab jarh. Kadangkala seseorang men-jarh dengan sesuatu yang tidak masuk kategori jarh. Ibnu Shalah berkata, “Hal ini sudah jelas menjadi keputusan dalam ilmu fiqh dan ushul. Imam Al-Hafidz Al-Khatib menyebutkan bahwa itu merupakan pendapat para imam huffadz hadits. Tetapi, Imam Bukhari, Muslim, dan lainnya mengkritik hal itu. Oleh karena itu, Bukhari tetap beargumen dengan sekelompok orang generasi terdahulu yang terkena jarh─tetapi bukan ditetapkan oleh dirinya, seperti Ikrimah dan Amru bin Marzuq. Begitu pula yang dilakukan Muslim terhadap Suwaid bin Sa’id dan sekelompok orang yang dikenal cacat. Hal yang sama dilakukan oleh Abu Daud. Ini menunjukkan bahwa jarh tidak bisa ditetapkan kecuali jika disertai penjelasan mengenai penyebab jarh-nya.” Apakah Jarh dan Ta’dil Bisa Dengan Ketetapan Seorang Saja? Pendapatnyang benar adalah bahwa jarh dan ta’dil bisa diterapkan oleh satu orang. Ada pula yang berpendapat bahwa hal itu harus dua orang. Terhimpunnya Jarh dan Ta’dil Pada Seorang Rawi Apabila dalam diri seorang rawi terhimpun jarh dan ta’dil, maka Pertama, yang dijadikan sandaran adalah jarh-nya, jika jarh-nya disebutkan. Kedua, ada juga yang berpendapat jika lebih banyak jumlah orang yang men-ta’dil-nya dibandingkan dengan yang men-jarh-nya, maka didahulukan ta’dil-nya. Ini pendapat yang lemah, tidak bisa dijadikan sebagai sandaran. Hukum Riwayat Orang yang Adil Dari Seseorang Riwayat orang rawi yang adil dari seseorang, tidak dianggap sebagai pen-ta’dil-annya terhadap orang itu. Ini pendapat mayoritas, dan ini pendapat yang benar. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa orang itu di-ta’dil-kan. Perbuatan orang-orang alim dan fatwa-fatwanya yang sesuai dengan hadits tidak bisa dihukumi sebagai shahih. Dan pertentangannya tidak bisa dijadikan sebagai cela atas ke-shahih-annya maupun riwayatnya. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa hal itu justru menunjukkan ke-shahih-annya. Ini merupakan pendapat Al-Amidi dan yang lainnya dari kalangan ahli ushul. Hukum Riwayat Orang yang Telah Bertaubat dari Sifat-Sifat Fasik Riwayat dari orang fasik yang sudah bertaubat dapat diterima. Riwayat orang yang bertaubat dari perbuatan dusta terhadap hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak dapat diterima. Hukum Riwayat Orang yang Mengambil Upah Sebagian berpendapat tidak bisa diterima. Ini pendapat Ahmad, Ishak, dan Abi Hatim. Sebagian lain berpendapat bisa diterima. Ini pendapat Abu Nu’aim Al-Fadl bin Dzukain. Abu Ishak as-Syaizari berpendapat, bagi orang yang kesulitan memperoleh penghidupan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya karena kesibukannya dalam mencari hadits, dibolehkan mengambil upah. Hukum Riwayat Orang yang Dikenal Menggampangkan atau Menerima Talqin, atau Banyak Lupa Pertama, riwayat orang yang menggampangkan dalam mendengar maupun mendengarkan tidak bisa diterima seperti tidak memperhatikan tatkala mendengar hadits karena tertidur, atau menceritakan hadits dari sumbernya tanpa melakukan pengecekan. Kedua, riwayat orang yang dikenal menerima talqin dalam hadits tidak bisa diterima, yaitu orang yang mengajarkan hadits dari orang yang tidak tahu bahwa itu merupakan haditsnya. Ketiga, tidak menerima riwayat dari orang yang dikenal banyak lupa dalam periwayatan. Hukum Riwayat Orang yang Menyampaikan Hadits lalu Lupa Definisi orang yang menyampaikan hadits lalu lupa, yaitu jika seseorang syaikh tidak ingat terhadap riwayat yang diceritakan muridnya, dan riwayat itu ternyata darinya. Hukum riwayatnya Ditolak, jika peniadaannya bersifat pasti, karena adanya perkataannya, “ma rawituhu aku tidak meriwayatkannya,” atau “huwa yakdzibu alayya dia berdusta terhadapku,” dan sejenisnya. Diterima, jika peniadaannya bersifat tidak pasti, seperti perkataan, “la a’rifu aku tidak tahu,” atau “la adzkuruhu aku tidak ingat,” dan sejenisnya. Apakah penolakan suatu hadits dapat dianggap cacat terhadap salah satu dari keduanya? Penolakan dari suatu hadits tidak dianggap sebagai cacat terhadap salah satu dari keduanya, sebab salah satu dari keduanya lebih parah cacatnya dibandingkan yang lainnya. Contoh Hadits riwayat Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah yang merupakan riwayat dari Rabi’ah bin Abi Abdurrahman dari Suhail bin Abi Shaleh dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memutuskan dengan hanya berlandaskan pada sumpah dan seorang saksi. Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Dawardi berkata, “Telah bercerita kepadu Rabi’ah bin Abi Abdurrahman dari Suhail. Lalu aku berjumpa dengan Suhail. Aku bertanya kepadanya mengenai rantai hadits tersebut yang berasal darinya, namun dia tidak mengetahuinya. Maka aku berkata, “Telah bercerita kepadaku dari Rabi’ah, dari engkau, begini….dan begini….” Setelah itu, Suhail berkata, “Telah bercerita kepadaku Abdul Aziz dari Rabi’ah dari aku bahwasanya aku menceritakan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu secara marfu’ begini….begini…” Kitab popular yaitu Akhbar man Haddatsa wa Nasiya, karya Al-Khathib. Daftar Pustaka Thahan, Mahmud. 2006. Tafsir Musthalah Hadits terjemah Abu Fuad. Bogor Pustaka Tariqul Izzah
Berdasarkanistilah tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hadis shahih itu harus memiliki lima syarat yang penjabarannya adalah sebagaimana berikut. Pertama , bersambung sanadnya (ittishalus sanad). Artinya, tiap-tiap rawi (periwayat hadis) dari rawi lainnya benar-benar mengambil (hadis) secara langsung dari orang di atasnya dari sejak awal sanad sampai akhir sanad.
DALAM ilmu hadis dikenal sebuah istilah bernama isnad. Yakni, silisilah para perawi hadits mulai dari Nabi Muhammad SAW hingga ke matan atau isi dari hadits tersebut. Abdullah bin al-Mubarak berkata, “Isnad itu termasuk dalam perkara agama. Tanpa adanya isnad, tentulah setiap orang bisda berkata semaunya saja.”Di antara para sahabat, tercatat ada tujuh sahabat yang terbanyak dalam meriwayatkan hadis, mereka adalah1 Perawi hadits pertama Abu Hurairah 5374 hadis Bernama lengkap Abdurrahman bin Shakr ad-Dausi. Rasulullah SAW memberinya julukan “Abu Hurairah”, sebab Abdurrahman seringkali menggendong kucing kecilnya. Ia juga pernah meriwayatkan hadis tentang seorang wanita yang masuk neraka gara-gara kucing. Abu Hurairah mulai hidup bersama Rasulullah SAW di Madinah pada tahun 7 H usai perang Khaibar. Meski demikian, ia berhasil menimba ilmu sebanyak-banyaknya dari nabi. Hal tersebut tak lepas dari doa nabi kepada Abu Hurairah. Suatu hari, nabi mendoakan Abu Hurairah agar memiliki hafalan yang kuat. Menurut Abu Hurairah, sejak itu ia tak pernah lupa sesuatu pun yang ia dengarkan dari nabi. BACA JUGA Larangan Riba, Begini Hadits Menyatakannya Ilustrasi Unsplash Sehari-harinya, Abu Hurairah terkenal sebagai orang yang zuhud dan ahli ibadah. Tak jarang ia harus menanggung rasa lapar dan haus hingga beberapa hari. Meski demikian, Abu Hurairah lebih memilih untuk terus menuntut ilmu sambil mengikat batu diperutnya sebagai pengganjal rasa lapar. Abu Hurairah wafat di kota Madinah pada akhir pemerintahan Mu’awiyah. Menjelang wafat, Abu Hurairah menangis. Orang-orang disekitarnya lalu bertanya sebab ia menangis, apakah karena takut mati. Abu Hurairah menjawab, “Tidak, saya menangis karena saya tahu akan menghadapi perjalanan yang sangat jauh namun perbekalan saya sangatlah sedikit.” 2 Perawi hadits kedua Abdullah bin Umar 2630 hadis Sosoknya terkenal sebagai pemuda cerdas lagi rajin ibadah. Abdullah ikut berhijrah ke Madinah saat ia masih berusia 11 tahun. Gelora keislaman Abdullah semakin berkobar ketika umat Islam mulai berperang. Sayang, ia baru dibolehkan ikut perang saat berumur 15 tahun ketika perang Khandaq pecah. Abdullah sangat bersemangat mengikuti sunnah nabi. Disebutkan, suatu hari Abdullah istirahat di bawah pohon dekat kota Madinah sebagaimana nabi pernah mampir dan tidur d tempat tersebut. Aisyah, istri Rasulullah SAW sampai pernah memujinya, “Tak seorang pun mengikuti jejak langkah Rasulullah di tempat-tempat pemberhentiannya, seperti yang dilakukan Ibnu Umar.” Meski kehilangan penglihatan di masa tuanya, Abdullah sama sekali tak mengurangi semangatnya menunaikan shalat lail dan berdikir. Suatu hari, nabi memujinya, “Sebaik-baik laki-laki adalah Abdullah bin Umar, andai ia rajin shalat lail.” Sejak itu Abdullah tak pernah meninggalkan shalat lail hingga maut menjemputnya di usia 80 tahun lebih. 3 Perawi hadits ketiga Anas bin Malik 2286 hadis Nama lengkapnya Anas bin Malik bin an-Nadhar bin Dhamdham al-Anshari al-Khazraji. Anas lahir di Madinah 8 tahun sebelum nabi hijrah ke kota tersebut. Sejak umur 10 tahun, Anas bin Malik bekerja sebagai khadim pelayan di rumah nabi. Anas sangat dekat dengan nabi. Selain sebagai sehabat, ia juga menjadi pembantu di rumah nabi, sehingga ia sangat tahu segala perilaku nabi dalam keseharian. Karena kedekatan itu, nabi mendoakan khusus buat Anas agar panjang umur dan banyak keturunannya, serta keberkahan sepanjang hayatnya. Tak heran, jika Anas menjadi perawi terbanyak ketiga dalam meriwayatkan hadis-hadis nabi. Berkat doa tadi, Anas menjadi seorang hartawan dari suku Anshar. Ia juga mempunyai keturunan yang sangat banyak hingga melebihi 100 orang dengan usia yang mencapai satu abad lebih. Anas bin Malik meninggal duniapada tahun 91 H. Ia dimakamkan bersama sebuah tongkat kecil milik Rasulullah SAW sebagaimana wasiat menjelang wafatnya. BACA JUGA Ini 3 Tempat Terlarang untuk Buang Hajat Menurut Hadits 4 Perawi hadits keempat Aisyah 2210 hadis Sebagai Ummu al-Mukminin, Aisyah memiliki sejumlah keutamaan dalam dirinya. Tak hanya cerdas, sosoknya juga terkenal kuat menghafal. Dalam usia yang sangat muda, Aisyah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Mulai dari ilmu tafsir, hadis, fikih furaidh ilmu warisan, syair hingga ilmu kedokteran. Hal tersebut tergambar dari beberapa kesaksian para sahabat dan tabi’in. Suatu hari Urwah bin Zubair, seorang keponakannya berkata, “Aku tak pernah melihat seseorang yang lebih pintar dalam ilmu fikih agama, kedokteran, dan syair selain Aisyah.” Dalam riwayat lain, ia berkata, “Aku tak pernah melihat seseorang yang lebih pintar tentang al-Qur’an, hal-hal yang difardhukan, halal dan haram, syair, cerita Arab, hingga urusan nasab silsilah keturunan selain Aisyah.” Wanita mulia ini wafat pada bulan Ramadhan tahun 57 Hijriyah dan dimakamkan di pekuburan Baqi’ Madinah. 5 Perawi hadits kelima Abdullah bin Abbas 1660 hadis Sejak kecil Ibnu Abbas –demikian panggilan akrabnya- sudah menunjukkan kecerdasan dan semangatnya dalam menuntut ilmu. Olehnya, Rasulullah SAW pernah mendekap Ibnu Abbas lalu mendoakannya, “Ya Allah, faqihkanlah ia perkara agama-Mu, dan ajarilah dia tafsir kitab-Mu.” Sepeninggal nabi, ghirah Ibnu Abbas menuntut ilmu tak menjadi surut. Tanpa bosan ia mendatangi satu persatu para sahabat sekedar bertanya berbagai perkara yang belum diketahuinya. Alhasil, dalam waktu singkat Ibnu Abbas digelari sebagai faqih al-ashr faqih di masanya dan imam al-mufassirinpenghulu ahli tafsir. Ibnu Abbas juga berjuluk al-bahr lautan ilmu. Ia wafat di kota Thaif. Musnad Abdullah Ibnu Abbas mencapai 1660 hadis. Sebanyak 75 hadis d antaranya disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim muttafaq alaih. Al-Bukhari meriwayatkan 120 hadis sedang Muslim sebanyak 9 hadis. 6 Perawi hadits keenam Jabir bin Abdullah 1540 hadis Putra Abdullah bin Amr bin Hamran al-Anshari as-Salami ini meriwayatkan 1540 hadis. Meski masih berumur kanak-kanak, Jabir termasuk pelaku Ba’iat al-Aqabah bersama ayah dan 70 orang sahabat Anshar lainnya. Mereka berikrar setia membantu Nabi SAW menguatka dan menyiarkan agama Islam. Jabir tak pernah absen dalam semua peperangan bersama Rasulullah SAW, kecuali pernag Badar dan Uhud. Pasalnya, usianya masih dianggap kecil ketika itu. Abu az-Zubair bercerita, “Suatu hari Jabir berkata, Rasulullah terjun berperang sebanyak 2 kali memimpin peperangan sedang saya cuma 19 kali berperang.” Sanad yang paling shahih dan termasyhur dari Jabir adalah melalui jalur Sufyan bin Uyainah, dari Amr bin Dinar, dari Jabir bin Abdullah. Jabir wafat pada tahun 74 H. Pendapat lain mengatakan tahun 73 H. Foto BACA JUGA Sebelum Ngomongin Jelek Saudaramu, Coba Pikirkan Hadits Ini… 7 Perawi hadits ketujuh Abu Sa’id Al-Khudri 1170 hadis Bernama lengkap Sa’ad bin Malik bin Sinan. Nasab al-Khudri berasal dari Khudrah bin Auf al-Harits bin al-Khazraj. Sedang ayahnya Malik bin Sinan, seorang sahabat yang sahid dalam perang Uhud. Ia meriwayatkan hadis dari banyak sahabat. Namun, sumber yang paling terkenal adalah dari ayahnya sendiri Malik bin Sinan, saudara seibu Qatadah bin an-Nu’aim, Abu Bakar, Umar, Utsman, ’Ali dan sejumlah sahabat lainnya. Abu Sa’id meriwayatkan 1170 hadis, termasuk 59 hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari. Abu Sa’id wafat pada tahun 74 H di Madinah dan dimakamkan di pekuburan Baqi’ sebagaimana pesan Abu Sa’id kepada anaknya menjelang wafat. [] Sumber Masykur/Majalah Hidayatullah edisi 02/XXII/Juni 2009/Jumadil Tsan 1430 ISSN 0863-2367
Syaratsyarat Rawi a. Adil. Adil dalam konteks studi hadis berbeda dengan adil dalam konteks persaksian atau hukum. Menurut muhaddisin yang dimaksud dengan adil adalah istiqamatuddin dan al-muru'ah. Istiqmatuddin adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi perbuatan-perbuatan haram yang mengakibatkan pelakunya fasik.
— Rawi menjadi salah satu unsur penting dalam sebuah hadits, secara singkat pengertian rawi yaitu periwayat atau penyampaian hadits. Sahabat muslim pasti sudah mengetahui, bahwa hadits menjadi salah satu pedoman yang harus diamalkan oleh umat Islam. Sama pentingnya dengan Al-Qur’an, hadits berisi penjelasan lebih rinci mengenai ayat-ayat dalam Al-Qur’ rawi Hadits berisi sabda Rasulullah dan beberapa firman Allah yang dikenal sebagai hadits qudsy. Sebelum dibuat menjadi hadits tertulis, semua ucapan Rasul pada zaman dahulu langsung dihafalkan dan diamalkan oleh umat Islam. Seiring perkembangan zaman, para sahabat mulai membukukan hadits dengan mencatat semua sabda, orang-orang penyampai haditslah yang disebut dengan rawi. Pengertian Rawi Pengertian rawi menurut bahasa yaitu meriwayatkan, sedangkan menurut istilah rawi adalah orang-orang yang meriwayatkan hadits secara lisan maupun tulisan, asalkan hadits tersebut didengar langsung dari gurunya. Seorang perawi pun harus memiliki kecerdasan yang tinggi serta kejujuran, karena akan mempengaruhi hadits yang disampaikan. Tidak semua orang bisa menjadi perawi hadits, tentunya ada banyak syarat yang harus dipenuhi untuk dapat meriwayatkan sebuah hadits. Karena nantinya hadits akan menjadi sebuah pedoman hidup umat muslim setelah Al-Qur’an. Proses periwayatannya pun tidak mudah, melalui proses yang panjang serta memakan waktu lama. Syarat Wajib Rawi Ada beberapa sifat wajib yang harus dimiliki seorang rawi agar bisa meriwayatkan hadits shohih. Seperti yang sahabat muslim ketahui bahwa hadits memiliki tingkat validnya tersendiri, yaitu hadits shohih, hasa, dan dhoif. Berikut ini beberapa sifat wajib seorang rawi Adil Adil di sini berbeda dengan perilaku adil dengan sifat istiqamatuddin dan al-muru’ah. Istiqamatudiin adalah menjalankan semua kewajiban sebagai seorang muslim yang baik, serta menjauhi segala maksiat yang berujung kefasikan. Sedangkan al-muru’ah menjalankan akhlak terpuji dan tidak membuat orang lain mencelanya, inilah yang disebut adil. Muslim Pada zaman dahulu banyak orang kafir yang ingin mengacaukan periwayatan hadits, maka dari itu sebelum meriwayatkan hadits, seorang rawi harus dipastikan kemuslimannya. Bahkan seorang muslim yang fasik pun diragukan periwayatannya dan bisa disebut kafir, hal tersebut telah Allah firmankan dalam Qs. Al-Hujurat 6 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan kecerobohan, yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” Baligh Syarat ketiga seorang rawi yaitu baligh, jadi periwayatan atau kesaksian seorang anak yang belum baligh tetap saja tidak mendapat validasi, sekalipun bisa jadi kesaksiannya itu benar. Pada zaman sahabat, ada banyak anak muda yang memperdalam ilmu agama bersama para syekh. Untuk dapat meriwayatkan sebuah hadits, mereka harus menunggu sampai usianya baligh. Berakal Seorang rawi yang hendak meriwayatkan hadits tentunya harus berakal, tidak dalam keadaan sakit mental. Kondisi tidak sepenuhnya sadar setelah bangun tidur juga bisa dibilang tidak berakal, karena periwayatan hadits memang sangat ketat. Tidak Berdosa Besar Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, seorang rawi harus memiliki sifat adil dalam pandangan islam. Rawi juga tidak boleh memiliki catatan dosa besar seperti membunuh, mencuri, berzina, dan lain-lain. Karena hal ini tentu akan mempengaruhi kualitas ucapannya. Tidak Sering Berdosa Kecil Selain tidak pernah melakukan dosa besar, seorang rawi juga tidak boleh melakukan dosa kecil. Seseorang yang taat agama pasti akan mejauhi dosa besar maupun kecil sebisa mungkin, rawi seperti inilah yang dapat meriwayatkan hadits shohih. Dhabit Dhabit memiliki dua kriteria, yaitu dhabit kuat hafalan di mana seorang rawi memiliki daya ingat yang tinggi dan tidak mudah lupa. Sedangkan dhabit yang kedua, yaitu kemampuan memelihara alkitab yang diberikan oleh gurunya, tidak ada ada perubahan sedikit pun yang dilakukan oleh rawi. Tingkatan Rawi Tidak semua rawi dapat memenuhi syarat wajib yang disebutkan di atas, maka dari itu terciptalah tingkatan rawi. Bahkan untuk mengenali dan mengidentifikasi sifat para rawi pun ada ilmu, yaitu ilmu thabaqah. Dengan mempelajari ilmu tersebut, para ahli hadits akan memudahkan penelitian suatu sanad dalam hadits. Tingkatan tersebut biasanya diklasifikasikan berdasarkan kriteria para rawi serta zaman kehidupannya. Sehingga rawi yang dihasilkan berbeda-beda, juga dapat mempengaruhi kualitas hadits yang diriwayatkannya. Berikut ini tiga tingkatan hadits dan para perawi yang mendudukinya Tingkat Sahabat Abu Hurairah meriwayatkan Aisyah meriwayatkan Annas bin Malik meriwayatkan dll. Tingkat Tabiin Umayyah bin Abdullah bin Khalid, Sa’id bin Al-Musayyab, dll. Tingkat Mudawwin Bukhari, Muslim, Imam An-Nasa’iy, dll. Penjelasan mengenai di atas sudah cukup untuk memberikan wawasan umum mengenai hadits. Tidak semua hadits memiliki periwayat yang memenuhi syarat, sehingga terbentuklah keshohihan hadits. Maka dari itu, sahabat muslim harus lebih teliti lagi ketika menemukan sebuah hadits, lakukan pemeriksaan apakah hadits tersebut shohih, hasan, atau bahkan dhaif. */sumber
Berikutini, akan kami kupas hadits dan dalil tentang melaksanakan budaya di atas. Jawaban tentang masalah ini kami ambil dari kitab Qurrah al-'Ain bi Fatawi Isma'il Zain al-Yamani halaman 175 cetakan Maktabah al-Barakah dan kitab al-Hawi lil Fatawi karya al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi juz 2 halaman 179 cetakan Darul Kutub, Bairut.
5 Lima Syarat Hadis Shahih Berdasarkan kuantitas sanad, hadis dibagi menjadi dua; hadis mutawatir dan hadis ahad. Sedangkan ditinjau berdasarkan kualitas sanad, hadis dibagi menjadi tiga; hadis shahih, hasan, dan dhaif. Pada pembahasan berikut ini, kita akan memfokuskan pada penjelasan hadis shahih. Apa itu hadis shahih? Apa saja syaratnya? Secara bahasa, shahih berarti sehat atau lawan dari sakit. Makna ini menjadi makna sebenarnya untuk fisik, namun merupakan majaz untuk hadis. Sementara secara istilah, Hafidz Hasan Al-Mas’udiy Gurus besar Universitas Al-Azhar As-Syarif serta pengarang kitab Minhatu Al-Mughits, menjelaskan hadis shahih dalam kitabnya sebagaimana berikut. مَااتَّصَلَ اِسْنَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ ضبطا تاما عَنْ مِثْلِهِ اِلَى مُنْتَهَى السَّنَدِ مِنْ غَيْرِشُذُوْذٍ وَلَاعِلَّةٍ قَادِحَةٍ Hadis yang bersambung sanadnya diriwayatkan oleh rawi yang adil lagi dhabit kuat hafalannya dan dari rawi yabg sekualitas dengannya hingga puncak akhir sanada, terhindar dari syadz kejanggalan dan tidak ada illat cacat yang parah. Berdasarkan istilah tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hadis shahih itu harus memiliki lima syarat yang penjabarannya adalah sebagaimana berikut. Pertama, bersambung sanadnya ittishalus sanad. Artinya, tiap-tiap rawi periwayat hadis dari rawi lainnya benar-benar mengambil hadis secara langsung dari orang di atasnya dari sejak awal sanad sampai akhir sanad. Jadi, setiap rangkaian rawi dalam sanad tersebut memiliki hubungan guru dan murid. Hal ini bisa diketahui dengan melihat biografi masing-masing rawi di kitab sejarah para rawi hadis rijal al-hadis. Biasanya dalam kitab tersebut dicantumkan nama guru dan muridnya, namun apabila tidak disebutkan bisa juga diketahui dengan melihat perjalanan ilmiah atau tahun wafatnya. Kedua, Perawinya Adil di dalam periwayatan. Adil di sini bermakna perawi tersebut Islam, Aqil berfikir sehat, Baligh dewasa, terhindar dari melakukan dosa besar atau dosa-dosa kecil yang terus menerus, terhindar dari hal-hal yang menodai kepribadian. Misalnya makan di pasar, berjalan tanpa alas kaki atau tidak memakai penutup kepala Ketiga, Dlabith, artinya kuat ingatan. Sedangkan Dlabith ada dua macam; Dlabith Shadri, artinya ingatan rawi benar-benar tersimpan kuat di dalam pikirannya atas apa yang telah ia dengar dan terima, ingatannya tersebut sanggup ia keluarkan kapanpun dan di manapun ia kehendaki Dlabith Kitab, artinya rawi tersebut kuat ingatannya berdasarkan buku catatannya yang ia tulis sejak ia mendengar atau menerima hadis. Hal ini berlaku pada zaman pertama periwayatan hadis, untuk zaman sekarang cukup berdasar pada naskah-naskah yang telah disepakati dan telah disahihkan Keempat, Tidak terdapat kejanggalan. Maksudnya Periwayatan seorang rawi yang dikatakan tsiqah dipercaya berbeda dengan periwayatan banyak rawi lainnya yang juga tsiqah dipercaya, sebab ditambah atau dikurangi sanad maupun matannya Kelima, Tidak adanya kecacatan. Yaitu cacat yang berada pada hadis, di mana secara dlahir hadis tersebut dapat diterima, akan tetapi setelah diselidiki secara mendalam dan dengan seksama jalur periwayatannya mengandung cacat yang menyebabkan hadis itu ditolak. Mislanya hadis mursal atau munqathi’ akan tetapi diriwayatkan secara muttashil. العمدة Khoirul Anam KN
4 Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya. 5. Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima. C. Cara Menerima Dan Menyampaikan Riwayat. Yang dimaksud dengan "jalan menerima hadits" (thuruq at-tahammul) adalah cara-cara.
Hadits shahih harus memenuhi beberapa persyaratan ketersambungan sanad, perawi adil, hafalan perawi kuat, tidak ada syadz, dan tidak ada illah. Lima persyaratan ini disimpulkan dari defenisi hadits shahih itu sendiri. Kalau hilang salah satu dari lima syarat ini, kualitas hadits berubah menjadi antara persyaratan hadits shahih yang harus dipenuhi adalah perawi harus adil dan dhabith hafalannya kuat. Menurut Mahmud Thahan dalam Kitab Taysiru Musthalahil Hadits, yang dimaksud dengan adil adalah dan dhabit di sini adalah sebagai berikutالعدالة ويعنون بها أن يكون الراوي مسلما بالغا عاقلا سليما من اسباب الفسق سليما من خوارم المروءة. والضبط ويعنون به أن يكون الراوي غير مخالف للثقات ولا سيء الحفظ ولا فاحش الغلط ولا مغفلا ولا كثير الأوهامArtinya, “’Adalah adil ialah perawinya Muslim, baligh, berakal, tidak melakukan perbuatan fasik, dan tidak rusak moralnya. Sedangkan dhabit ialah periwayatan perawi tidak bertentangan dengan perawi tsiqah lainnya, hafalannya tidak jelek, jarang salah, tidak lupa, dan tidak keliru.”Adil yang dimaksud dalam istilah ilmu hadits berati seorang perawi harus beragama Islam, baligh dan berakal, serta tidak melakukan perbuatan fasik dan moralitasnya tidak rusak. Dengan demikian, kalau ada perawi yang melakukan perbuatan tercela atau pernah bohong misalnya, maka hadits yang diriwayatkannya tidak bisa dhabit berkaitan dengan kekuatan hafalan dan seorang perawi jarang melakukan kesalahan. Orang yang kekuatan hafalannya bagus, periwayatannya tidak akan bertentangan atau menyalahi hadits yang diriwayatkan oleh perawi tsiqah lainnya. Kalau ada perawi yang meriwayatkan hadits bertentangan dengan perawi tsiqah, besar kemungkinan hafalannya Kitab Taysiru Musthalahil Hadits, Mahmud Thahan juga menjelaskan cara untuk mengetahui perawi itu adil dan dhabit. Menurutnya, ada dua cara yang bisa dilakukan untuk mengetahui keadilan perawiPertama, kualiatas perawi hadits dapat diketahui berdasarkan pengakuan dari perawi lain atau ulama kualitas perawi hadits bisa diketahui dari popularitasnya. Orang yang sudah populer kualitas dan kealimannya tidak perlu lagi pengakuan dari ulama hadits. Maksudnya, tanpa pengakuan pun periwayatannya sudah bisa diterima karena sudah populer. Misalnya, hadits-hadits yang disampaikan oleh imam empat madzhab, Sufyan Ats-Tsauri, Azra’i, dan ulama terkenal cara mengetahui kualitas hafalan perawi adalah dengan cara membandingkan hadits yang disampaikannya dengan perawi tsiqah lainnya. Kalau hadits yang disampaikannya sesuai dengan perawi tsiqah lainnya berarti kualitas hafalannya bagus. Apabila bertentangan dan berbeda dengan perawi tsiqah, maka hafalannya dianggap bermasalah dan tidak bisa dijadikan pedoman kalau kesalahannya terlalu fatal. Wallahu a’lam. Hengki Ferdiansyah
Artinya perawi tersebut tidak menjalankan kefasikan, dosa-dosa, perbuatan dan perkataan yang hina. Perawi yang adil adalah perawi yang muslim, baligh (dapat memahami perkataan dan menjawab pertanyaan), berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan rusaknya kehormatan (contoh-contoh kefasikan dan rusaknya kehormatan adalah seperti melakukan kemaksiatan dan bid'ah, termasuk diantaranya merokok, mencukur jenggot, dan bermain musik).3.
1. Syarat-syarat Perawi dalam Tahammul Hadis Tidak dapat dipungkiri bias mendapatkan hadis atau menerimanya merupakan anugerah yang sangat besar. Disamping perlunya keikhlasan hati dan lurusnya niat untuk membersihkan diri dari tujuan-tujuan yang menyeleweng, yang merupakan adab atau tatakrama seorang thalib al-hadis, dalam menerima hadis harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh ulama ahli hadis atau dikenal dengan istilah ahliyatu altahammul sehingga hadis yang diterima tersebut sah untuk diriwayatkan. Berikut syarat-syarat bagi perawi dalam tahammul hadis 1 Penerima harus dlabit memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang valid. 2 Berakal sempurna serta sehat secara fisik dan mental Syarat berakal sehat sudah jelas disyaratkan dalambertahammul hadis karena untuk menerima hadis yang merupakan salah satu sumber hukum Islam sangat diperlukan. Oleh karena itu tidak sah riwayatnya seseorang yang menerima hadis tersebut ketika dalam keadaan tidak sehat akalnya. Selain sehat akal, dalam bertahammul juga harus dalam keadaan sehat fisiknya dan juga mentalnya agar orang tersebut mampu memahami dengan baik riwayat hadis yang diterimanya. 3 Tamyiz Syarat pertama perawi dalam tahammul al-hadis adalah tamyiz. Menurut Imam Ahmad, ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal. Ada juga yang mengatakan bahwa ukuran tamyiz adalah pemahaman anak pada pembicaraan dan kemampuan menjawab pertanyaan dengan baik dan benar. Seorang yang belum baligh boleh menerima hadis asalkan ia sudah tamyiz. Hal ini didasarkan pada keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli ilmu setelahnya yang menerima hadis walaupun mereka belum baligh seperti Hasan, Husain, Abdullah ibn Zubair, Ibnu Abbas, dan lain-lain. Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan seseorang boleh bertahammul hadis dengan batasan usia. Qodli Iyad menetapkan batas usia boleh bertahammul adalah usia lima tahun, karena pada usia ini seorang anak bias menghafal dan mengingat-ingat sesuatu, termasuk hadis nabi. Abu Abdullah az-Zubairi mengatakan bahwa seorang anak boleh bertahammul jika telah berusia sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna. Sedangkan Yahya ibn Ma’in menetapkan usia lima belas tahun. 2. Syarat Perawi dalam Ada’ al-Hadis Syarat-syarat orang yang diterima dalam meriwayatkan hadis atau dikenal dengan istilah ahliyatul ada’ menurut ulama ahlul hadis adalah 1 Islam Pada waktu periwayatan suatu hadis seorang perawi harus muslim. Menurut ijma’, periwayatan hadis oleh orang kafir dianggap tidak sah. Karena terhadap riwayat orang muslim yang fasik saja dimauqufkan, apalagi hadis yang diriwayatkan oleh orang kafir. Walaupun dalam tahammul hadis orang kafir diperbolehkan, tapi dalam meriwayatkan hadisia harus sudah masuk Islam. 2 Baligh Yang dimaksud baligh adalah perawi cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis. Baik baligh karena sudahberusia lima belas tahun atau baligh karena sudah keluar mani. Batasan baligh ini bias diketahui dalam kitab-kitab fiqih. 3 Adalah adil Adl merupakan suatu sifat yang melekat dalam jiwa seorang perawi, yang mendorong rawi untuk bertaqwa dan memelihara harga diri muru’ah sehingga menjauhi segala dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil. Sifat adalahnya seorang rawi berarti sifat adlnya di dalam riwayat. Dalam ilmu hadis sifat adalah ini berarti orang Islam yang sudah mukallaf yang terhindar dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kefasikan dan jatuhnya harga syarat yang ketiga ini sebenarnya sudah mencakup dua syarat sebelumnya yaitu Islam dan baligh. Oleh karena itu sifat adalah ini mengecualikan orang kafir, fasiq, orang gila, dan orang yang tak dikenal 4 Dlabit Dlabit ialah ingatan. seseorang yang meriwayatkan hadis harus mengingat hadis yang ia sampaikan tersebut. Saat ia mendengar hadis dan memahami apa yang didengarnya, ia harus hafal sejak ia menerima hadis itu hingga ia meriwayatkannya. Dabit oleh ulama ahli hadis dibagi menjadi dua yaitu a Dlabtu al-Shadri, yaitu dengan menetapkan atau menghafal apa yang ia dengar didalam dadanya, sekiranya ia mampu untuk menyampaikan hafalan tersebut kapanpun ia kehendaki. b Dlabtu al-Kitab, yaitu memelihara, mempunyai sebuah kitab catatan hadis yang ia dengar, kitab tersebut dijaga dan ditasheh sampai ia meriwayatkan hadis sesuai dengan tulisan yang terdapat dalam kitab tersebut. Sedangkan untuk hadisnya sendiri itu haruslah Tsiqoh, maksudnya adalah hadis yang diriwayatkan tidak berlawanan dengan hadis yang lebih kuat atau dengan Qur’an. Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan tentang syarat-syarat perawi dalam tahammul wal ada’ Hadis. Sumber Modul 3 Konsep Dasar Ulumul Hadis PPG dalam Jabatan Tahun 2019 Kementerian Agama Republik Indonesia JAKARTA 2019. Kunjungilah selalu semoga bermanfaat. Aamiin.
Haditsdhaif ialah hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih dan hadits hasan. Yaitu hadis yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa hadis mauquf, maqthu', mursal, mu'allaq, mudallas, munqathi' atau mu'dlal), atau diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, atau mengandung kejanggalan atau cacat.
- Hadits tentang qurban bisa ditemukan dalam riwayat sejumlah ahli perawi hadis. Hadits-hadits tentang qurban itu dimuat dalam karya-karya Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad, Ibnu Majah, Imam At-Tirmidzi, Imam Abu Dawud, dan lain sebagainya. Sejumlah hadits tentang qurban tersebut memuat dalil perintah berkurban di Idul Adha, syarat-syarat hewan kurban, hingga hikmah berkurban. Tidak lama lagi, waktu berkurban akan tiba yakni pada saat Idul Adha 10 Dzulhijah dan hari tasyrik 11-13 Dzulhijah tahun 1444 Hijriah, atau pada akhir Juni 2023. PP Muhammadiyah yang memakai metode hisab hakiki wujudul hilal telah mengumumkan bahwa Hari Raya Idul Adha 2023 1444 H akan jatuh pada tanggal 28 Juni 2023. Sementara itu, Kementerian Agama RI akan menggelar Sidang Isbat Idul Adha 2023 atau sidang penetapan hari raya kurban, pada Minggu, 18 Juni 2023 mendatang. Sidang Isbat Idul Adha 2023 itu akan didahului oleh rukyatul hilal untuk menentukan awal bulan Dzulhijah 1444 H. Hukum Berkurban dan Hikmah Qurban Hukum berkurban adalah sunah muakadah atau sangat dianjurkan dalam Islam. Bahkan, Nabi Muhammad SAW selalu melaksanakan qurban sejak ibadah ini disyariatkan hingga beliau wafat. Adapun hikmah berkurban adalah sebagai manifestasi ketakwaan seorang hamba, serta sarana untuk ber-taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran, Surah Al-Kautsar ayat 1 – 3, yang terjemahannya sebagai berikut“Sesungguhnya Kami telah memberimu [Nabi Muhammad] nikmat yang banyak. Maka, laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah! Sesungguhnya orang yang membencimu, dialah yang terputus [dari rahmat Allah],” QS. Al-Kautsar [108] 1-3.Perintah berkurban pada Idul Adha berhubungan dengan peristiwa ketika Nabi Ibrahim AS menerima perintah dari Allah SWT untuk menyembelih putranya, Ismail Nabi Ibrahim, perintah yang datang melalui beberapa kali mimpi itu sesungguhnya amat berat. Nabi Ibrahim lantas membicarakan perintah itu kepada Ismail. Sang anak lantas tanpa ragu merelakan Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Allah SWT keikhlasan dan kepatuhan pada Allah SWT, keduanya lantas berketetapan untuk menjalankan perintah nan berat tadi. Namun, tanpa disangka oleh keduanya, keajaiban terjadi. Ismail sama sekali tidak terluka. Allah SWT ternyata tidak menghendaki penyembelihan Ismail terjadi, dan perintah yang semula datang hanya untuk menguji kesabaran dua hamba kekasihNYA itu. Sebaliknya, Allah SWT menganugerahkan ganti berupa kambing hewan sembelihan untuk dijadikan kurban Nabi Ibrahim. Peristiwa di atas dikisahkan dalam Al-Quran, Surah As-Saffat ayat 102-107 dengan arti terjemahan sebagai berikut“Ketika anak itu sampai pada [umur] ia sanggup bekerja bersamanya, ia [Ibrahim] berkata, 'Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?' Dia [Ismail] menjawab, 'Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan [Allah] kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.'Ketika keduanya telah berserah diri dan dia [Ibrahim] meletakkan pelipis anaknya di atas gundukan [untuk melaksanakan perintah Allah], Kami memanggil dia, 'Wahai Ibrahim, sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.' Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebaikan. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Kami menebusnya dengan seekor [hewan] sembelihan yang besar,” QS. As-Saffat [37] 102-107.Hadits-Hadits tentang Qurban Ada banyak hadis tentang qurban, baik yang menganjurkan berkurban maupun memberi keterangan mengenai syarat pelaksanaan hingga tujuan ibadah kurban. Berikut ini sejumlah hadits tentang qurban dalam terjemahan bahasa Indonesia1. Dalam riwayat dari Jabir Ra. dikatakan sebagai berikut, “Nabi memerintahkan kepada kami berkurban seekor unta atau sapi untuk setiap 7 orang dari kami,” HR. Bukhari dan Muslim.2. “Barang siapa yang memiliki kelapangan [harta], sedangkan ia tidak berkurban, janganlah dekat-dekat tempat salat kami," HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Hakim.3. “Ada 4 macam hewan yang tidak sah dijadikan hewan kurban, “[1] yang [matanya] jelas-jelas buta [picek], [2] yang [fisiknya] jelas-jelas dalam keadaan sakit, [3] yang [kakinya] jelas-jelas pincang, dan [4] yang [badannya] kurus lagi tak berlemak,” HR. Tirmidzi dan Abu Daud.4. “Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka kurbannya tidak diterima,” HR. Hakim dan Baihaqi. Hadis ini dishahihkan Albani.5. Dalam riwayat Zaid bin Arqam, para sahabat bertanya kepada Nabi SAW "Wahai Rasulullah SAW, apakah kurban itu? Rasulullah SAW menjawab 'Kurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim',” HR. Ahmad dan Ibnu Majah.6. Nabi Muhammad SAW bersabda “Tidak ada suatu amalan yang dikerjakan anak Adam manusia pada hari raya Idul Adha yang lebih dicintai oleh Allah dari menyembelih hewan. Karena hewan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kuku-kuku kakinya. Darah hewan itu akan sampai di sisi Allah sebelum menetes ke tanah. Karenanya, lapangkanlah jiwamu untuk melakukannya,” HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah.7. Diriwayatkan dari jalur Anas bin Malik, bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda, “Siapa yang menyembelih [hewan kurban] sebelum salat Iduladha, maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri dan siapa yang menyembelih sesudah salat Iduladha, maka sempurnalah ibadahnya dan [ia] mengikuti sunah kaum muslim,” Mutafaq alaih. - Pendidikan Kontributor Syamsul Dwi MaarifPenulis Syamsul Dwi MaarifEditor Addi M Idhom
AZg00. i2ytod38c3.pages.dev/201i2ytod38c3.pages.dev/12i2ytod38c3.pages.dev/266i2ytod38c3.pages.dev/356i2ytod38c3.pages.dev/66i2ytod38c3.pages.dev/37i2ytod38c3.pages.dev/3i2ytod38c3.pages.dev/311i2ytod38c3.pages.dev/285
berikut ini yang tidak termasuk syarat perawi hadits adalah